Hujan turun dengan derasnya, Jumat 29 Januari 2016. Di sebuah desa paling atas di lereng gunung slamet itu, air seperti tumpah dari langit. Deras mengalir hingga jauh. Meluncur sampai anak-anak sungai yang terjalin hingga muaranya yang terakhir, Samudera Indonesia.
“Air di sini hanya numpang lewat, tak bisa dimanfaatkan oleh warga sini,” ujar Sudiyanto, 45 tahun, warga Grumbul Glempang, Desa Kotayasa, Kecamatan Sumbang, banyumas
Rumahnya berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Meski berada di pegunungan, dan air cukup melimpah, ia dan ribuan penduduk lainnya tak bisa memanfaatkan air itu.
“Air di sini hanya numpang lewat, tak bisa dimanfaatkan oleh warga sini,” ujar Sudiyanto, 45 tahun, warga Grumbul Glempang, Desa Kotayasa, Kecamatan Sumbang, banyumas
Rumahnya berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Meski berada di pegunungan, dan air cukup melimpah, ia dan ribuan penduduk lainnya tak bisa memanfaatkan air itu.
Meski sudah digali hingga belasan meter, air sumur tak bisa keluar di daerah itu. Setiap menggali sumur, ia selalu mendapati bebatuan besar sisa vulkanik menghalangi cangkulnya. Alhasil, tak ada sumur di desa itu.
Penduduk pun terpaksa pergi ke sumber mata air yang banyak terdapat di desa itu. Hanya saja letaknya cukup jauh dan berada di bawah desa. Prihatin dengan kondisi itu, Sudiyanto pun berpikir keras agar bisa mengalirkan air di sungai yang ada di daerah yang lebih rendah ke desanya.
“Inspirasi itu muncul pada suatu sore di akhir Mei 1998,” kata dia membuka kembali memori masa lalunya.
Sudiyanto menceritakan kisahnya tentang upaya membuat pompa air tenaga air atau yang dikenal dengan hydram. Inspirasinya ia dapatkan dari buku koleksi perpustakaan desa, tak sengaja ia menemukan sebuah buku berjudul, Pompa Air Tenaga Air.
Pompa air dalam buku tersebut mengadopsi teknologi Belanda. Yanto, begitu Sudiyanto biasa disapa, tergerak untuk membuat pompa air yang ada di buku tersebut.
Dalam buku tersebut, air yang dipompa hanya bisa naik setinggi 7 meter. Padahal jarak antara sumber mata air dengan perkampungan penduduk di tempat tersebut lebih dari seratusan meter.
Namun Yanto tak menyerah. Dengan modal seadanya, ia tetap melanjutkan proyek tersebut.
Untuk mengatasi kekurangan modal, ia meminjam uang Rp 5 juta dari saudara-saudaranya. Uang tersebut diperolehnya dari Narkum sebesar Rp 2,5 juta, hasil dari menjual padi. Sedangkan sisanya diperoleh dari kakaknya yang lain, Warno, dari hasil menjual cengkih.
Dari uang tersebut, ia gunakan untuk membeli pipa dan perlengkapan lainnya. Awal percobaannya, langsung gagal. Air tak bisa naik. Namun, ia tak putus asa.
Dicobanya lagi alat tersebut, kali ini berhasil. Air bisa naik hingga ketinggian 18 meter. Total percobaannya hingga ketinggian 18 meter, ia gagal sebanyak 10 kali.
Setelah gagal 10 kali, tepatnya bulan September 1999, sebuah ketidaksengajaan percobaan membuahkan hasil. Hydram buatannya tak sengaja bocor. "Sebenarnya itu sebuah kecelakaan," kata Yanto.
Namun dari bocornya Hydram tersebut, air yang mengalir justru semakin besar. Lantas ia pun membuat modifikasi lagi. Hydram ia sengaja bocorkan dengan membuat lubang dari sebuah paku.
Sadar air yang mengalir semakin deras, ia pun membuat sambungan air dengan pipa hingga depan rumahnya. Jarak antara sumber air dengan rumahnya sendiri sekitar 315 meter. "Saya langsung berteriak seperti orang gila, ternyata percobaan saya tak sia-sia," kata dia sambil terus membuka kulit kacang
agen judi kiu kiu online | Agen Dominoqq | AGEN ADUQ ONLINE | judi poker terbaik | situs judi online domino 99 | AGEN QQ ONLINE
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar